Nama musisi Prancis, David Guetta, dalam beberapa tahun terakhir, kerap menjadi perbincangan, terutama setelah kolaborasi dengan Kelly Rowland pada 2009 untuk single pop When Love Takes Over. Sejak itu, genre musik elektronik mulai marak kembali.
Keberhasilan lagu tersebut membuka jalan bagi Guetta untuk berkolaborasi lebih lanjut dengan musisi papan atas lainnya, misalnya dengan Akon untuk Sexy Bitch. Ada pula kolaborasi I Gotta Feeling dengan The Black Eyed Peas yang sukses besar di Amerika Serikat. Lagu ini mencapai angka penjualan 249.000 download dan memulai kiprahnya di Billboard Hot 100 di nomor dua, di belakang single The Black Eyed Peas lainnya yang berjudul Boom Boom Pow.
EDM sebenarnya bukan jenis baru di musik. Genre ini merupakan evolusi dari musik elektronik di era 1990-an. EDM adalah satu set genre musik yang mengandalkan perkusi elektronik. Awalnya, EDM diproduksi terutama untuk lingkungan hiburan berbasis dansa atau dance seperti di klub malam. Tak heran bila banyak musisi yang mengusung EDM memiliki latar belakang sebagai DJ (disc jockey) yang memang lekat dengan dunia tersebut.
Musik sebagian besar dibuat untuk digunakan oleh DJ dan diproduksi untuk digunakan dalam campuran DJ, kemudian DJ mencampurkan dari satu rekaman ke yang berikutnya. Pada 2010, singkatan EDM diadopsi oleh industri musik Amerika dan pers di bidang musik sebagai kata kunci untuk menggambarkan musik dansa elektronik AS yang semakin komersial.
Jika merunut perkembangannya, musik elektronik bermula pada akhir dekade 1960-an. Pada 1969, seorang komposer musik keturunan Jerman bernama Gerson Kingsley merilis sebuah lagu berjudul Popcorn. Lagu tersebut dianggap oleh banyak pihak sebagai lagu dance pertama dalam sejarah industri musik.
Lagu tersebut kemudian dibawakan ulang oleh band Hot Butter pada 1972 dan menjadi hit yang lebih besar dari versi aslinya. Yang sama dari kedua versi lagu Popcorn adalah penggunaan synthesizer moogs dan drum analog yang akan memengaruhi musik disko di era selanjutnya.
Menurut Rudyanto, penelaah musik independen dari Berisik Radio, EDM memiliki akar dari tren musik disko yang pernah booming di era 1970-an. Kini, EDM kembali menjadi tren karena adanya dukungan teknologi. “Memang sekarang lagi tren ditambah dengan adanya teknologi yang berkembang. Semua bisa belajar sendiri secara autodidak,” kata Rudyanto kepada Koran Jakarta.
Pada pertengahan era 1970, rekaman musik disko pun mulai beralih dari orkestrasi tradisional (seperti bas dan gitar elektrik, drum, dan instrumen akustik) ke instrumen yang elektronik. Suara sintetik dari synthesizer dan mesin drum menjadi banyak digunakan di banyak rekaman disko pada akhir tahun 1970 dan 1980-an.
Awalnya, EDM tidak begitu mendapat sorotan, baik oleh pers maupun penggemar musik di Amerika. Ketika itu, EDM dipasarkan dengan istilah electronica selama pertengahan hingga akhir 1990-an. Baru pada pertengahan 1990- an, beberapa musisi seperti Prodigy dan The Chemical Brothers mulai mendapatkan perhatian dari pendengar, kritikus musik, dan produser musik mainstream. Hal ini membuka peluang bagi pemain besar di industri musik untuk bekerja sama dengan artis EDM, dan produser musik mainstream untuk bereksperimen dengan sound elektronik.
“Gue lihat Daft Punk menjadi salah satu musisi yang ikut memopulerkan kembali. Dulu, di era 1990-an, kita tahu ada Prodigy cs. Kalau di era 1980- an lebih ke new wave,” jelas Rudyanto.
Rudy mengatakan segmen pendengar musik EDM di Indonesia masih terbatas, namun dia meyakini jenis musik ini akan terus ada termasuk penggemar loyalnya. “Tapi jangan lupain ada juga komunitas midi dan chiptunes yang masih serumpun,” tambahnya.
Midnight Quickie, the Raising Star
Indonesia yang memiliki kiblat musik ke Barat juga punya musisi EDM yang berbakat. Hal itu ditandai dengan maraknya grup yang lahir dan eksis lewat genre EDM. Salah satu nama yang sedang menjadi perbincangan saat ini adalah Midnight Quickie yang beranggotakan Aydra, Irsan, dan Tami.
Semua berawal dari persahabatan Irsan dan Aydra yang ternyata memiliki minat yang sama, yaitu musik khususnya EDM. “Kami belajar meramu musik secara autodidak sejak umur 16 tahun. Lalu pada satu saat, Irsan diajak main (perform) di sebuah tempat sekitar tahun 2012. Irsan mengajak saya untuk tampil bersama. Dari situ kami punya ide untuk buat proyek Midnight Quickie,” ungkap Aydra kepada Koran Jakarta.
Mereka memutuskan untuk mencari sosok vokalis dan bertemu dengan Tami yang akhirnya menjadi vokalis mereka. Tami dipilih lantaran punya suara khas. Secara resmi, Midnight Quickie terbentuk pada Januari 2012 lalu. Midnight Quickie akhirnya merilis single pertama yang berjudul City Lights, dengan gabungan genre musik pop dan elektronik. Tak sampai satu tahun, City Lights sudah mendapat respons positif. Single tersebut telah membuat Indonesia bangga dan berhasil mendapat pengakuan internasional dengan mencapai posisi chart #75 di NME MaxxYou World Widechart.
Midnight Quickie menjadi satu-satunya musisi Indonesia yang melampaui musisi terkenal seperti Flo Rida dan Train. Single mereka berikutnya berjudul Bebas Lepas yang dirilis pada Februari 2013 juga berhasil mencapai #1 di GANAS (Gen 40 lagu terpanas) 98,7 GenFm hanya dalam waktu tujuh minggu. Juga Hit Top 10 Radio Hits di Jakarta, Bali, Semarang, dan Makassar. Tak heran bila akhirnya Midnight Quickie pun kebanjiran tawaran manggung.
Mereka mengaku tak menyangka hingga akhirnya bisa seperti saat ini. Kini, mereka pun mencoba terus bisa mengembangkan karier di industri musik Tanah Air. “Kami fokus di EDM karena kami suka. Pada saat itu, di Indonesia masih jarang atau mungkin belum ada yang memiliki grup dengan genre EDM. Alhamdulillah, kami masih berjalan hingga sekarang, dan EDM sudah mulai diterima masyarakat di Indonesia,” timpal Irsan.
Menggarap lagu dengan format elektronik memang sedikit rumit karena membutuhkan perangkat digital, namun Aydra biasa menggunakan instrumen seperti piano atau gitar lebih dulu untuk mencari materi baru. “Prosesnya menggunakan beberapa instrumen digital seperti midi controller. Tapi biasanya kami suka main piano atau gitar cari materi baru. Setelah dapat materinya, baru kami take materi tersebut melalui pre amp ke soundcard, baru diaransemen menjadi satu. Buat aransemen musik dulu, baru setelahnya vokal,” kata Aydra.
“Kalau di panggung biasanya kami simple, kita hanya pakai CDJ, Kaosspad (Effector), juga mikrofon untuk vokal. Kalau dalam proses recording yang dibutuhkan pastinya PC, soundcard, midi controller, studio monitor, pre-amp & mic condensor untuk take vokal. Kami juga menggunakan Instrumen musik seperti piano, gitar, bas, biola (analog) atau instrumen musik lainnya sebagai pendukung musik EDM kami,” sambungnya.
Dalam waktu dekat, Midnight Quickie berencana melepas album perdana Being Bad Feels Good. Saat ini, kata Irsan, prosesnya sudah mencapai 80 persen. Grup asal Jakarta tersebut juga berencana merilis International EP bersama Heineken Thirst Asia Pasific 2005 Winner DJ Adhe Bachtiar. Dalam EP tersebut, juga ada lagu yang mereka kerjakan bersama Jamie Aditya.
“Walaupun agak berkesan negatif, Being Bad Feels Good bermakna sebagai berikut. ‘Being bad’ yaitu berani mengambil keputusan berbeda dengan lainnya jika kita yakin dengan keputusan tersebut – ‘bandel’ karena belum tentu semua orang berani mengambil keputusan berbeda, ‘feels good’ karena memang sudah seharusnya seperti itu,” ungkap Tami.
“Di balik Being Bad Feels Good yang menjadi tanda tanya bagi publik, terdapat makna positif yang kita tujukan untuk semua masyarakat. Kami senang jika banyak yang bertanya tentang artinya. It just feels good to tell people about the meaning behind it!” pungkasnya.
Keberhasilan lagu tersebut membuka jalan bagi Guetta untuk berkolaborasi lebih lanjut dengan musisi papan atas lainnya, misalnya dengan Akon untuk Sexy Bitch. Ada pula kolaborasi I Gotta Feeling dengan The Black Eyed Peas yang sukses besar di Amerika Serikat. Lagu ini mencapai angka penjualan 249.000 download dan memulai kiprahnya di Billboard Hot 100 di nomor dua, di belakang single The Black Eyed Peas lainnya yang berjudul Boom Boom Pow.
EDM sebenarnya bukan jenis baru di musik. Genre ini merupakan evolusi dari musik elektronik di era 1990-an. EDM adalah satu set genre musik yang mengandalkan perkusi elektronik. Awalnya, EDM diproduksi terutama untuk lingkungan hiburan berbasis dansa atau dance seperti di klub malam. Tak heran bila banyak musisi yang mengusung EDM memiliki latar belakang sebagai DJ (disc jockey) yang memang lekat dengan dunia tersebut.
Musik sebagian besar dibuat untuk digunakan oleh DJ dan diproduksi untuk digunakan dalam campuran DJ, kemudian DJ mencampurkan dari satu rekaman ke yang berikutnya. Pada 2010, singkatan EDM diadopsi oleh industri musik Amerika dan pers di bidang musik sebagai kata kunci untuk menggambarkan musik dansa elektronik AS yang semakin komersial.
Jika merunut perkembangannya, musik elektronik bermula pada akhir dekade 1960-an. Pada 1969, seorang komposer musik keturunan Jerman bernama Gerson Kingsley merilis sebuah lagu berjudul Popcorn. Lagu tersebut dianggap oleh banyak pihak sebagai lagu dance pertama dalam sejarah industri musik.
Lagu tersebut kemudian dibawakan ulang oleh band Hot Butter pada 1972 dan menjadi hit yang lebih besar dari versi aslinya. Yang sama dari kedua versi lagu Popcorn adalah penggunaan synthesizer moogs dan drum analog yang akan memengaruhi musik disko di era selanjutnya.
Menurut Rudyanto, penelaah musik independen dari Berisik Radio, EDM memiliki akar dari tren musik disko yang pernah booming di era 1970-an. Kini, EDM kembali menjadi tren karena adanya dukungan teknologi. “Memang sekarang lagi tren ditambah dengan adanya teknologi yang berkembang. Semua bisa belajar sendiri secara autodidak,” kata Rudyanto kepada Koran Jakarta.
Pada pertengahan era 1970, rekaman musik disko pun mulai beralih dari orkestrasi tradisional (seperti bas dan gitar elektrik, drum, dan instrumen akustik) ke instrumen yang elektronik. Suara sintetik dari synthesizer dan mesin drum menjadi banyak digunakan di banyak rekaman disko pada akhir tahun 1970 dan 1980-an.
Awalnya, EDM tidak begitu mendapat sorotan, baik oleh pers maupun penggemar musik di Amerika. Ketika itu, EDM dipasarkan dengan istilah electronica selama pertengahan hingga akhir 1990-an. Baru pada pertengahan 1990- an, beberapa musisi seperti Prodigy dan The Chemical Brothers mulai mendapatkan perhatian dari pendengar, kritikus musik, dan produser musik mainstream. Hal ini membuka peluang bagi pemain besar di industri musik untuk bekerja sama dengan artis EDM, dan produser musik mainstream untuk bereksperimen dengan sound elektronik.
“Gue lihat Daft Punk menjadi salah satu musisi yang ikut memopulerkan kembali. Dulu, di era 1990-an, kita tahu ada Prodigy cs. Kalau di era 1980- an lebih ke new wave,” jelas Rudyanto.
Rudy mengatakan segmen pendengar musik EDM di Indonesia masih terbatas, namun dia meyakini jenis musik ini akan terus ada termasuk penggemar loyalnya. “Tapi jangan lupain ada juga komunitas midi dan chiptunes yang masih serumpun,” tambahnya.
Midnight Quickie, the Raising Star
Indonesia yang memiliki kiblat musik ke Barat juga punya musisi EDM yang berbakat. Hal itu ditandai dengan maraknya grup yang lahir dan eksis lewat genre EDM. Salah satu nama yang sedang menjadi perbincangan saat ini adalah Midnight Quickie yang beranggotakan Aydra, Irsan, dan Tami.
Semua berawal dari persahabatan Irsan dan Aydra yang ternyata memiliki minat yang sama, yaitu musik khususnya EDM. “Kami belajar meramu musik secara autodidak sejak umur 16 tahun. Lalu pada satu saat, Irsan diajak main (perform) di sebuah tempat sekitar tahun 2012. Irsan mengajak saya untuk tampil bersama. Dari situ kami punya ide untuk buat proyek Midnight Quickie,” ungkap Aydra kepada Koran Jakarta.
Mereka memutuskan untuk mencari sosok vokalis dan bertemu dengan Tami yang akhirnya menjadi vokalis mereka. Tami dipilih lantaran punya suara khas. Secara resmi, Midnight Quickie terbentuk pada Januari 2012 lalu. Midnight Quickie akhirnya merilis single pertama yang berjudul City Lights, dengan gabungan genre musik pop dan elektronik. Tak sampai satu tahun, City Lights sudah mendapat respons positif. Single tersebut telah membuat Indonesia bangga dan berhasil mendapat pengakuan internasional dengan mencapai posisi chart #75 di NME MaxxYou World Widechart.
Midnight Quickie menjadi satu-satunya musisi Indonesia yang melampaui musisi terkenal seperti Flo Rida dan Train. Single mereka berikutnya berjudul Bebas Lepas yang dirilis pada Februari 2013 juga berhasil mencapai #1 di GANAS (Gen 40 lagu terpanas) 98,7 GenFm hanya dalam waktu tujuh minggu. Juga Hit Top 10 Radio Hits di Jakarta, Bali, Semarang, dan Makassar. Tak heran bila akhirnya Midnight Quickie pun kebanjiran tawaran manggung.
Mereka mengaku tak menyangka hingga akhirnya bisa seperti saat ini. Kini, mereka pun mencoba terus bisa mengembangkan karier di industri musik Tanah Air. “Kami fokus di EDM karena kami suka. Pada saat itu, di Indonesia masih jarang atau mungkin belum ada yang memiliki grup dengan genre EDM. Alhamdulillah, kami masih berjalan hingga sekarang, dan EDM sudah mulai diterima masyarakat di Indonesia,” timpal Irsan.
Menggarap lagu dengan format elektronik memang sedikit rumit karena membutuhkan perangkat digital, namun Aydra biasa menggunakan instrumen seperti piano atau gitar lebih dulu untuk mencari materi baru. “Prosesnya menggunakan beberapa instrumen digital seperti midi controller. Tapi biasanya kami suka main piano atau gitar cari materi baru. Setelah dapat materinya, baru kami take materi tersebut melalui pre amp ke soundcard, baru diaransemen menjadi satu. Buat aransemen musik dulu, baru setelahnya vokal,” kata Aydra.
“Kalau di panggung biasanya kami simple, kita hanya pakai CDJ, Kaosspad (Effector), juga mikrofon untuk vokal. Kalau dalam proses recording yang dibutuhkan pastinya PC, soundcard, midi controller, studio monitor, pre-amp & mic condensor untuk take vokal. Kami juga menggunakan Instrumen musik seperti piano, gitar, bas, biola (analog) atau instrumen musik lainnya sebagai pendukung musik EDM kami,” sambungnya.
Dalam waktu dekat, Midnight Quickie berencana melepas album perdana Being Bad Feels Good. Saat ini, kata Irsan, prosesnya sudah mencapai 80 persen. Grup asal Jakarta tersebut juga berencana merilis International EP bersama Heineken Thirst Asia Pasific 2005 Winner DJ Adhe Bachtiar. Dalam EP tersebut, juga ada lagu yang mereka kerjakan bersama Jamie Aditya.
“Walaupun agak berkesan negatif, Being Bad Feels Good bermakna sebagai berikut. ‘Being bad’ yaitu berani mengambil keputusan berbeda dengan lainnya jika kita yakin dengan keputusan tersebut – ‘bandel’ karena belum tentu semua orang berani mengambil keputusan berbeda, ‘feels good’ karena memang sudah seharusnya seperti itu,” ungkap Tami.
“Di balik Being Bad Feels Good yang menjadi tanda tanya bagi publik, terdapat makna positif yang kita tujukan untuk semua masyarakat. Kami senang jika banyak yang bertanya tentang artinya. It just feels good to tell people about the meaning behind it!” pungkasnya.
Sumber :
http://www.koran-jakarta.com/?14290-bangkitnya+musik+digital+ala+electronic+dance+music
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan takut untuk meninggalkan komentar anda, blog ini akan berkembang dengan komentar-komentar anda yang positif dan tanpa spam maupun link aktif.
Mohon maaf apabila terjadi keterlambatan balasan komentar.